Oleh: Gaudensius Burhanudin, S. Fil |
OPINI ANDA~Belum lama ini partai-partai pendukung calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo-Hatta, mendeklarasikan koalisi permanen di Tugu Proklamasi, Jakarta. Lahirnya koalisi ini tak kurang mengundang pro dan kontra di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, karena di tengah hingar-bingar suhu politik pasca pilpres lalu dan memasuki masa jedah menunggu pengumuman resmi KPU tentang siapa yang bakal keluar sebagai RI 1, masyarakat pun bertanya-tanya hendak kemana arah perahu koalisi ini berlayar dalam lautan politik Indonesia yang makin menggelora.
Yang pro tentu merasa optimis dan yakin bahwa koalisi yang dibangun garuda merah ini bakal membawa perubahan yang signifikan bagi jalannya pemerintahan ke depan. Karena dengan menyatukan kekuatan maka akan lahir energi yang besar dalam membangun dan mendongkrak dinamika politik yang lebih berkualitas. Terutama dalam mengawasi jalannya pemerintahan. Dia akan menjadi aset politik yang amat berguna apabila dikelola dengan cara yang benar dan berada di tangan yang benar tanpa trik kotor yang bersembunyi di baliknya.
Pemilihan tugu proklamasi sebagai tempat deklarasi dalam hal ini tentu bukan sekadar mengikuti apalagi melawan (menyaingi) apa yang dilakukan kubu Jokowi sebelumnya di tempat yang sama saat mengumumkan kemenangannya dalam pilpres versi quick count. Melainkan ada makna sejarah di baliknya. Apabila deklarasi koalisi permanen ini mempunyai tujuan yang luhur dan mulia, maka pemilihan tempat tersebut amatlah tepat. Mengapa, karena kita tahu bahwa di tempat yang sama tokoh proklamator kita Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Di tempat itu lahirlah babak baru perjalanan bangsa ini menjadi bangsa yang berdaulat lepas dari taring dan cakar kekuasaan penjajah.
Namun lahirnya bayi dengan nama koalisi permanen itu juga mengundang kekhawatiran dan rasa pesimis manakala kiprah koalisi itu kemudian hanya akan menjegal kebijakan pemerintahan yang berkuasa kelak. Kekhawatiran seperti itu bukan tanpa alasan atau mengada-ada. Sejarah telah membuktikan bahwa para elit politik kita yang duduk di lembaga terhormat itu umumnya doyan bermanuver, cenderung bergerak sendiri dalam kelompok yang dibangunnya dan minim dalam memberi solusi.
Rakyat sudah muak dengan ulah banyak elit politik kita yang pandai berjargon, pintar mengubar janji, haus kekuasaan, sarat korupsi dan lupa rakyat yang dipimpin atau diwakilinya. Tentu yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah kerja nyata bukan jargon melulu. Apabila koalisi yang dibentuk benar-benar untuk membangun kekuatan politik demi kesejahteraan rakyat, maka deklarasi tersebut layak kita sambut dengan sorak haleluya. Namun apabila sebaliknya yang terjadi maka tangisan requiem kematianlah yang bakal kita dengar.
Tentu semua niat baik hendaklah kita dukung apalagi deklarasi yang dicanangkan itu persis dibuat di bulan suci Ramadan. Karena itu, kita percaya bahwa niat para deklarator itu juga tulus dan jujur demi membawa bangsa ini ke depan selangkah lebih baik bagi kemaslahatan berjuta umat yang tengah haus akan perubahan dan perbaikan kehidupan dalam banyak aspek. Sebab bagaimanapun, tujuan hidup entah itu dalam skala kecil semisal individu ataupun dalam lingkup yang lebih luas sebagai sebuah negara, tidak bisa tidak mengarah kepada kebaikan. Itulah yang mesti menjadi rebutan kita, bukan kekuasaan melulu. Bahwa ada kerikil, onak dan duri dalam perjalanan pertiwi ini anggaplah itu sebagai antitesis dari sebuah tesis pergulatan jati diri bangsa menuju sebuah sintesis berkualitas demi lahirnya Indonesia Raya yang sesungguhnya.
Indonesia baru harus lahir, tentu dengan value-value baru, dengan semangat baru dan dengan mindset baru. Kita harus bangkit menjadi bangsa yang besar dan disegani bukan terutama karena luas wilayahnya, kaya sumber daya alamnya dan banyak penduduknya, tetapi terutama karena ekonominya kuat, sumber daya manusianya berkualitas, pemerintahannya bersih dan berwibawa yang dibangun di atas basis etika politik yang bermartabat.
Tentu masih segar dalam ingatan kita, bagaimana John Naisbitt, futurolog dan penulis buku Megatrends Asia menyebut-nyebut bahwa Indonesia bakal menjadi kandidat kuat macan ekonomi Asia mengikuti Jepang, Korea, China dan Singapura yang adalah raksasa-raksasa ekonomi di kawasan ini. Walaupun ramalan itu tidak tercapai menyusul ekonomi kawasan Asia digoncangkan oleh krisis moneter dan yang menjadi mangsa utama adalah Indonesia, Thailand dan Korea Selatan di mana George Soros dituduh sebagai biang keroknya, namun ramalan itu setidaknya menjadi daya dorong bagi kita untuk sedikit lebih percaya diri dalam membangun ekonomi yang lebih kuat.
Pasca krisis moneter ekonomi, Korea Selatan perlahan pulih demikianpun halnya dengan Thailand, sementara Indonesia masih terseok-seok sampai saat ini. Gerakan reformasi baik itu reform politik maupun reformasi ekonomi juga seakan kehilangan rohnya. Para elit politik kita sibuk merebut kekuasaan. Korupsi merajalela, sementara puluhan juta anak bangsa yang berada di bawah garis kemiskinan dengan wajah memelas menatap kapan bangsa ini akan sejahtera.
Karena itu mari kita bangun dari tidur panjang dalam selimut tengik kebohongan dan permainan kotor, menatap ke depan untuk Indonesia yang lebih baik. Sungguh disayangkan apabila energi anak bangsa ini habis hanya karena berpikir siapa menjatuhkan siapa. Di era yang makin maju ini, paradigma berpikir kita juga harus sedikit lebih maju. Segala mental pulau-pulau, mental partai-partai dan mental semangat mencari selamat sendiri-sendiri sejauh mungkin diminimalisir. Bagaimana mungkin kita bisa membangun bangsa ini dengan segmentasi-segmentasi yang terkapling-kapling dalam kelompok masing-masing. Tiba saatnya kita melihat hal-hal yang fundamental dari kehidupan bangsa ini dan bukan pada perbedaannya yang bersifat fenomenal.
Kembali ke koalisi permanen; siapapun presiden yang akan terpilih nanti, entah Jokowi ataupun Prabowo, koalisi ini harus tetap mengedepankan elan vital perjuangannya terutama dalam mengkritisi setiap kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Kalau boleh saya katakan koalisi ini harus menjadi seperti lalat liar yang menggerogoti luka lama di tengkuk seekor kuda yang terus mengganggu dan menggaggu, mengkritisi agar ada perbaikan. Luka itu perlu disembuhkan. Tetapi satu hal ini harap tidak kita lupa bahwa dalam dunia politik tidak ada teman permanen dan abadi, yang ada hanyalah kepentingan. Nah, sanggupkah koalisi yang diusung tujuh partai politik ini menepis adagium klasik di atas? Tunggu saja, waktu dan sejarah akan membuktikannya. ***
Penulis adalah Pemerhati masalah sosial, Dosen STKIP AL Fayed Batam
Batampos
@
Tagged @ Opini
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten