Oleh: Pangki T. Hidayat |
Opini Anda -- Entah sudah berapa kali kebijakan yang dikeluarkan pemerintah tidak pro dengan rakyat, termasuk wacana kebijakan saksi parpol ini. Mengapa demikian? Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkesan menguntungkan segelintir golongan saja, yakni para calon legislatif (caleg) peserta pemilu 2014. Argumen untuk meminimalisasikan kecurangan pada tingkat TPS jelas tidak relevan. Faktanya, penggelembungan suara lebih sering terjadi pada penghitungan suara tingkat kecamatan dan kabupaten. Jika ditelaah lebih jauh, menjaga tidak terjadi kecurangan pada tingkat TPS tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah. Partai politik sebagai peserta pemilu, jelas mempunyai besaran tanggung jawab yang sama dengan pemerintah. Parpol tidak bisa kemudian lepas tangan dan menyerahkan tanggung jawab tersebut sepenuhnya kepada pemerintah.
Fenomena yang terjadi saat ini, menggambarkan lemahnya kemandirian parpol peserta pemilu 2014 mendatang. Parpol terlihat enggan mengamankan suaranya di TPS dengan menyediakan kader dari parpol sendiri. Buktinya, wacana kebijakan anggaran biaya saksi parpol ini terus bergulir. Bahkan menurut Mendagri, Gamawan Fauzi, peraturan presiden (perpres) mengenai biaya saksi parpol pemilu 2014 hanya tinggal menunggu tanda tangan dari presiden saja. Melihat fenomena yang demikian, masyarakat tentu menjadi semakin apatis terhadap partai politik peserta pemilu. Jika membiayai kepentingan partai sendiri saja tidak mau, lantas mungkinkah setelah pemilu mereka mau “membiayai” rakyat melalui kebijakan yang pro rakyat? Realita yang ada jelas jauh panggang dari api. Bercermin dari masa lalu, kebijakan-kebijakan dari pemerintah bisa dikatakan tidak sesuai dengan keinginan rakyat. Kebijakan yang ada nyatanya malah membuat rakyat terlihat seperti orang bodoh, misalnya saja kebijakan mengenai konversi minyak tanah ke gas, dan kebijakan “Balsem” yang tidak mendidik kemandirian rakyat.
Kembali pada konteks anggaran biaya parpol, wacana ini jelas sudah tak patut lagi untuk diperdebatkan. Apapun alasannya pemerintah sebenarnya tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk partai politik, seperti yang termaktub dalam pasal 12 UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Seyogyanya pemerintah mendidik partai politik yang ada untuk bersikap lebih dewasa dan mampu secara mandiri membiayai kepentingan mereka sendiri. Jika sampai 68 tahun Indonesia merdeka pemerintah masih harus turut “mengurusi” kepentingan parpol, lantas kapan parpol di negara ini akan menjadi dewasa?
Partai politik hendaknya secara tegas menolak implementasi kebijakan yang “kontroversial” ini. Jika tidak, selain menunjukkan sikap partai yang tak elok, parpol secara tidak langsung juga menciderai asas kesetaraan warga negara untuk menunaikan hak pada bidang politik seperti yang termaktub dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPRD, dan DPD; UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, serta UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Bagaimana tidak? Para caleg dari 12 parpol peserta pemilu tidak perlu mengeluarkan biaya apapun untuk saksi-saksi mereka di TPS, namun para calon anggota DPD yang jumlahnya mencapai 945 orang harus menanggung biaya saksi mereka di 561.393 TPS. Demi asas keadilan dan kesetaraan, pemerintah jelas harus turut membiayai biaya saksi untuk calon aggota DPD jika wacana biaya saksi parpol terealisasi.
Sepatutnya pemerintah menelaah lebih dalam isu kesetaraan dan keadilan bagi semua peserta pemilu 2014 mendatang. Caleg, calon DPD, dan bahkan masyarakat sebagai pemilih pun harus mendapatkan perlakuan yang sama dari pemerintah. Perlunya kesetaraan ini penting guna mengakomodasi rasa persaudaraan diantara seluruh lapisan masyarakat. Pembedaan pada segelintir kalangan hanya akan menimbulkan perpecahan bagi kalangan yang lain. Dalam konteks ini, negara tidak perlu mengeluarkan serupiah pun untuk kepentingan kelompok tertentu. Pemilu 2014 mendatang hendaknya menjadi pembelajaran bagi parpol peserta pemilu. Kemandirian dan citra politik yang baik, seharusnya menjadi nilai jual yang mereka tawarkan kepada masyarakat. Dengan begitu, sikap apatis pada parpol yang kini terlanjur melekat pada parpol, sedikit demi sedikit bisa dikikis. Parpol sebagai organisasi yang mandiri dan transparan, baik secara ekonomi maupun sosial memang belum terlihat jelas di masyarakat. Parpol yang ada lebih terlihat seperti bayang-bayang hitam yang ingin menggerogoti kekuasaan dan kekayaan negara ini. Oleh sebab itu, mau tak mau parpol sebagai peserta pemilu harus mampu memperbaiki citra yang demikian buruk, berkaitan dengan anggaran dana saksi pemilu dari APBN yakni secara tegas menolak kebijakan tersebut.
Jika menilik anggaran yang dimiliki tiap parpol peserta pemilu 2014, memang tidak semuanya memiliki kemampuan finansial yang kuat. Meski begitu, hal yang perlu ditanamkan pada tiap parpol ialah kemenangan dalam pemilu tidaklah ditentukan partai mana yang memiliki dana paling banyak. Parpol dengan kemampuan finansial lemah tidak perlu ngotot untuk mengharapkan biaya saksi parpol dari negara, begitu pula parpol dengan kemampuan finansial kuat. Partai politik seyogyanya menunjukkan sikap yang berbudi luhur untuk mengambil hati rakyat. Kekhawatiran parpol terhadap antitesis biaya saksi parpol hanya menunjukkan kegagalan parpol dalam mengelola intern mereka sendiri. Jika demikian adanya, lantas bagaimana parpol mampu mengelola seluruh rakyat Indonesia menuju kehidupan yang sejahtera? Waallahu’alam bi ash-showwab! ***
@
Tagged @ Opini
0 komentar:
Posting Komentar - Kembali ke Konten