informasi berita layaknya sebuah koran yang ada di batam

Manajemen Konflik di Tahun Politik

Oleh: Ribut Lupiyanto
Opini Anda - Dinamika sosial dan kenegaraan masih diwarnai sikap abai terhadap toleransi. Intoleransi menimbulkan kerawanan konflik hingga berpotensi menimbulkan jatuhnya korban.
Kementerian Sosial melaporkan sepanjang tahun 2013 terjadi 153 konflik besar di Indonesia. Indonesia Police Watch (IPW) juga mencatat  konflik sepanjang tahun 2013 telah memakan korban 203 orang tewas, 361 luka-luka, 483 rumah dirusak, dan 173 bangunan lainnya dibakar.
Tahun 2014 ini merupakan puncak tahun politik bagi Indonesia. Hajatan demokrasi ini diprediksi akan rawan konflik. Ruang kompetisi di Pemilu 2014 diprediksi semakin bersifat lokal dan sangat terbuka. Kompetisi tidak sekadar antar parpol, tetapi antar caleg dalam satu parpol pun bisa saling jegal. Gesekan horisontal yang berpotensi konflik menjadi tantangan yang perlu diantisipasi dan ditangani.

Polri mengajukan dana pengamanan Pemilu 2014 sebesar Rp 3,59 triliun. Dana tersebut dirinci untuk beberapa kali pengamanan dari mulai Pemilu Legislatif (Pileg) hingga Pemilihan Presiden (Pilpres) Putaran ke dua. Pengerahan kekuatan untuk seluruh Indonesia, Polda dan Polres diajukan sebesar Rp 1,28 triliun. Pengamanan pemilihan Pilpres diajukan sebesar Rp 1,146 triliun. DPR akhirnya hanya menyetujui Rp 1 triliun dan realokasi Rp 600 miliar dari dana internal Polri. Saat ini Polri memiliki anggaran Rp 45 triliun. TNI AD juga menyiapkan dana tanggap darurat untuk mengatasi hal-hal mendesak yang mungkin terjadi saat pelaksanaan pengamanan pemilu. Dana tanggap darurat tersebut setiap satuan batalyon sebanyak Rp100 juta.

Jumlah dana ini sebenarnya sudah lebih dari cukup bahkan rawan penyalahgunaan. Penghematan dapat dilakukan jika manajemen konflik berbasis antisipasi dijalankan optimal. Peran BIN sangat diperlukan dalam melaksanakannya. Pengawasan penggunaan serta akuntabilitas dana juga penting dikedepankan Polri.

Peta Kerawanan
Scannell (2010) memaparkan bahwa konflik adalah suatu hal alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu. Konflik berjalan mulai dari tahap diskusi. Jika masing-masing pihak mau menang sendiri, maka proses berlanjut ketahap polarisasi. Perkembangan selanjutnya jika tidak ada lagi obyektivitas, maka konflik memasuki tahap segregasi (saling menjauh, putus komunikasi). Terakhir dan paling berbahaya jika segregasi tidak bisa ditangani secara baik, maka konflik memasuki tahap destruktif.

Kerawanan konflik pertama kali penting diamati berdasarkan peta spasial basis parpol dan sebaran caleg. Ruang geografis sifatnya statis dan konstan, sedangkan pelaku dan aktifitas politik yang mewarnai sangat dinamis dan tidak sedikit jumlahnya. Ruang tertutup tersebut menjadi medan kompetisi politik yang niscaya menghadirkan singgungan dan overlapping antar kontestan.

Ribuan caleg ditambah, kader partai serta tim sukses caleg merupakan komponen yang rawan terlibat konflik. Hal ini disebabkan oleh interaksi di antara mereka yang bermotivasi sama yaitu mencari kemenangan. Konflik dapat terjadi intra maupun antar parpol.

Domisili caleg dan target lumbung suara umumnya terkonsentrasi di wilayah berpenduduk besar. Tantangan bagi partai politik adalah menyebar konsentrasi aktifitas politiknya dengan mengandalkan basis kader bukan caleg semata. Implikasi dari sistem suara terbanyak telah mendorong upaya caleg untuk terjun hingga pintu ke pintu. Gesekan muncul antar tim sukses hingga antar warga masyarakat yang menjadi sasarannya.
Elemen partai politik, baik pengurus, kader, maupun caleg merupakan garda terdepan dalam perjuangan politik di Pemilu 2014. Kerawanan dapat diantisipasi dengan memahami peta jaringan dan pergerakan yang meraka lakukan. Semakin rinci informasi yang dimiliki akan semakin memudahkan upaya antisipasi sekaligus resolusi jika konflik terjadi.

Mabes Polri telah memetakan daerah konflik jelang Pemilu 2014 yang tersebar di 31 wilayah Polda.  Pemetaan daerah rawan konflik didasarkan pada jumlah kasus yang terjadi. Masing-masing Polda memiliki karakteristik kerawanan konflik. Sebagian besar akar kerawanan adalah sengketa agraria, perkebunan, pertambangan, serta pemilu atau pilkada. Konflik terjadi umumnya setelah masuk pada ranah politik atau terpolitisasi. Beberapa daerah yang memiliki kerawanan konflik secara umum yang tinggi antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, Lampung, NTB, Sulawesi Selatan, Maluku, Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Barat (Mabes Polri, 2013).

Manajemen Konflik
Gesekan di lapangan adalah keniscayaan, tetapi tidak semestinya melebar menjadi konflik destruktif. Hal ini menuntut dilakukannya manajemen dalam rangka mengatasi atau resolusi konflik  hingga tercipta perdamaian. Galtung (2003) menguraikan  bahwa perdamaian terwujud dengan diagnosis, prognosis, dan terapi yang tepat. Kekeliruan dalam melakukan diagnosis membawa akibat kekeliruan dalam melakukan prognosis termasuk  terapi yang akan dilakukan.

Undang-Undang RI No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana telah mengatur tentang penanggulangan bencana sosial dari akibat konflik sosial yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa manusia yang meliputi konflik sosial antar kelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.  Produk hukum yang cukup baru berkaitan dengan konflik sosial adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial juga mengatur tentang tata cara menangani konflik sosial dengan  pencegahan, penghentian konflik dan penanganan pasca konflik.

Setiap pihak memiliki tanggung jawab dalam menghadirkan Pemilu 2014 yang aman dan damai. Pertama, parpol dan caleg. Parpol dan caleg harus mampu mengendalikan kader dan tim suksesnya. Satu hal tidak dibenarkan adalah klaim suatu kawasan menjadi daerah kekuasaan parpol atau caleg tertentu. Parpol harus dapat melakukan manajemen konflik secara arif bukan justru memancing dan memperbesar gesekan. Komunikasi antar elit parpol dan caleg mesti dibangun secara intensif atas dasar kekeluargaan.

Kedua, penyelenggara pemilu. Penyelenggara pemilu harus mengantisipasi konflik dengan bekerja secara adil. Penting bagi KPU untuk mengatur jadwal kampanye mempertimbangkan peta kerawanan di atas. Bawaslu juga mesti jeli mengawasi pelanggaran. Penindakan harus berkeadilan dan memprioritaskan solusi permusyawaratan.

Ketiga, aparat pemerintah dan tokoh. Aparat pemerintah hingga tingkat terendah seperti Ketua RT/RW harus mampu mempelopori penciptaan suasana kondisif di setiap wilayahnya. Pendidikan politik warga wajib diprogramkan. Perangkat pemerintahan tidak dibenarkan menunjukkan keberpihakan politik. Tokoh masyarakat dan agama juga  dapat berperan strategis melalui pendekatan budaya dan spritual.

Keempat, aparat keamanan. Kepolisian setelah mengetahui peta secara spasial, penting mengidentifikasi potensi sumber dan latar belakang konflik hingga ke akar-akarnya. Selama ini pendekatan antisipasi dilakukan melalui Intelejen dan Babinkantibmas. Intelejen untuk memantau perkembangan konflik dan Babinkantibmas untuk komunikasi sosial berbasis kearifan lokal. Semua faktor konflik akan mudah tersulut di tahun politik ini. Aparat keamanan penting menggandeng parpol, penyelengggara pemilu, pemerintah, tokoh, dan semua elemen untuk upaya antisipasi konflik politik.

Jusuf Kalla (2013) mengemukakan bahwa konflik dapat diantisipasi melalui harmoni berbasis kearifan lokal. Indonesia dipandang positif oleh dunia dalam manajemen konflik karena kemampuannya mengantisipasi ribuan potensi konflik. Di balik keberhasilan tersebut ada peran kearifan lokal.

Setiap daerah memiliki segudang kearifan lokal berbasis budaya masing-masing. Kompetisi pemilu hendaknya dilaksanakan secara ksatria dengan menjunjung kejujuran dan sikap siap kalah menang. Semoga dengan kesadaran dan komitmen semua pihak, Pemilu 2014 akan berlangsung secara damai dan berkualitas. ***



@



0 komentar:

Posting Komentar - Kembali ke Konten

Manajemen Konflik di Tahun Politik