informasi berita layaknya sebuah koran yang ada di batam

Mengupas Tuntas Sengketa Hotel BCC Batam

BATAM HARI INI – Wali Kota Batam memerintahkan penghentian operasional The BCC Hotel karena perizinannya bermasalah. Rebutan kepemilikan antar-pemegang saham, yang masih punya hubungan keluarga, pangkal masalahnya.
Kabut menghalangi pandangan mata ke arah negara tetangga Singapura. Padahal, itu salah satu daya tarik dari lantai 17 The BCC Hotel, Batam. Di kamar hotel jenis Deluxe, penghuni dapat menikmati panorama Negeri Singa dan lalu lintas perairan di Selat Malaka.
”Ini salah satu yang menarik dari kamar hotel kami,” kata seorang resepsionis yang mengantar Batam Pos melihat kamar itu, Kamis pekan lalu. ”Sayang, sore ini tertutup kabut.”
Tak hanya kamar-kamar hotel, bangunan 25 lantai yang terletak di Jalan Bunga Mawar, Baloi Kusuma, Kecamatan Lubukbaja ini juga menyediakan apartemen. Tak hanya berguna sebagai tempat tinggal, pihak hotel bintang empat ini menyediakan apartemen yang dapat disewa harian hingga bulanan.
Dua fungsi, sebagai apartemen dan hotel, ini yang membuat bangunan dengan nama The Batam City Condominium Hotel and Residence ini ditengarai beroperasi tanpa izin usaha pariwisata. Tak hanya itu, hotel itu ternyata belum memiliki dokumen Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) perhotelan. Sejak soft launching pada Oktober 2011 lalu, hotel yang dimiliki PT Bangun Megah Semesta hanya memiliki Amdal apartemen.

”Izinnya apartemen namun aktivitas yang kami temukan di lapangan hotel,” kata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam Dendi Purnomo, 21 Januari lalu, saat pertama kali kabar itu terdengar. Dendi menjelaskan, perbedaan utama dampak lingkungan jasa apartemen dan hotel adalah lalu lintas manusia dan kendaraan.
Laju lalu lintas jasa hotel akan lebih tinggi ketimbang apartemen. Di samping itu, dalam surat Bapedal nomor 658/Bapedal/APDL/VII/2013, Bapedal menyebutkan pihak hotel wajib mengurus izin penyimpanan limbah B3 dan izin pembuangan air limbah.
Sontak ini memantik reaksi di lingkungan pemerintahan dan parlemen Kota Batam. Pertanyaan yang muncul, bagaimana bisa bangunan yang menjulang hingga 128 meter di pusat Kota Batam itu beroperasi tanpa izin pariwisata dan Amdal?
Fakta absennya syarat-syarat perizinan hotel dalam operasional BCC itu pertama kali terungkap saat manajemen ingin mengurus izin perpanjangan izin pariwisata pada Juni 2013. Sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, format perizinan terbaru pariwisata adalah Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Salah satu persyaratan untuk mendapat TDUP adalah adanya dokumen amdal jasa pariwisata yang akan dijakankan. Padahal hotel tersebut telah beroperasi sejak 2012.
Nah, ketika mengajukan permohonan TDUP inilah ketahuan BCC belum memiliki Amdal dan izin lingkungan. Dendi yang kembali ditemui pada Kamis pekan lalu mengatakan, berdasarkan data tersebut Bapedal melakukan peninjauan ke lokasi BCC.
”Saat itu, BCC juga termasuk dalam pengawasan rutin kami,” kata dia.

Di lapangan, Bapedal mendapati bahwa dokumen Amdal BCC Hotel yang diterbitkan pada 2010 ternyata tidak termasuk usaha perhotelan. ”Kami langsung menyurati pihak BCC Hotel untuk memperbaiki dokumen lingkungannya,” terang Dendi.
Belum lengkapnya dokumen-dokumen lingkungan dan pariwisata BCC Hotel pun memantik reaksi. Tak kecuali Wali Kota Batam Ahmad Dahlan yang meminta agar operasional BCC ditutup. Humas BCC Hotel, Berliana ketika itu berkeras bahwa manajemen sedang mengurus seluruh perpanjangan izin.
Namun perintah Wali Kota tak sejalan dengan tindakan yang diambil bawahannya. Dinas Pariwisata memutuskan BCC tetap beroperasi meski belum memiliki TDUP. Kepala Bidang Sarana, Prasarana dan Obyek Wisata Dinas Pariwisata Kota Batam, Rudi Panjaitan mengatakan, BCC Hotel tetap beroperasi dengan alasan kunjungan pariwisata Batam. Menurut dia bila BCC Hotel ditutup, kontrak dengan jasa pariwisata yang sudah terjalin selama ini akan terhenti. Wisatawan yang hendak menginap dibatalkan karena persoalan itu.

”Apa yang nanti ada di benak mereka? Pariwisata kita akan tercoreng,” kata Rudi Panjaitan, 23 Januari lalu.
Soal izin, Kepala Dinas Pariwisata Yusfa Hendri menjelaskan, BCC Hotel bukannya tidak memiliki izin, namun masih dalam proses pengurusan perpanjangan. Upaya perpanjangan awal mentok karena dokumen Amdal dan Izin Lingkungan bukan untuk kegiatan perhotelan.
”Ketika kita kembali cek persyaratan-persyaratannya, kita minta lagi Amdalnya karena Bapedal melihat adanya penambahan usaha maka mereka minya dilakukan revisi terhadap dokumen Amdalnya,” kata Yusfa di ruang kerjanya Jumat pekan lalu.

Yusfa mengatakan, secara prinsip Dinas Pariwisata Kota Batam jauh-jauh hari sudah mengetahui langkah manajemen BCC yang menjalankan jasa perhotelan. Izin jasa perhotelan pertama kali diajukan pada 2010 saat Dinas Pariwisata mengeluarkan Izin Prinsip Usaha Pariwisata (IPUP). Dua tahun setelahnya, yakni pada 4 Juni 2012, Dinas Pariwisata menerbitkan Izin Tetap Usaha Pariwisata (ITUP). Ketika ITUP berakhir, mereka sudah memohon untuk mengajukan permohonan izin TDUP. Kurangnya dokumen-dokumen lingkungan, menurut Yusfa tidak perlu menghentikan sementara operasional hotel tersebut.
”Mereka kan sudah mengajukan izin. Kemudian BPM selaku penerbit izin sudah mengeluarkan surat keterangan bahwa perizinannya sedang diproses,” ungkap Yusfa.
Dendi Purnomo Kamis pekan lalu mengungkapkan, seluruh dokumen lingkungan hotel itu sudah selesai dan dalam proses penyerahan ke BPM. Kepala Badan Penanaman Modal Kota Batam Gustian Riau mengatakan secara prinsip tidak ada masalah dalam pengurusan TDUP BCC Hotel. ”Kami menunggu dokumen dari dinas-dinas teknis yang kan dikumpulkan sebelum TDUPnya ditandatangani,” ujar Gustian.
Terkait lambannya proses perpanjangan itu, Yusfa mengatakan, hal itu disebabkan karena persoalan internal pemegang saham PT BMS. Pihak-pihak yang berkonflik pun saling menjegal demi menguasai perusahaan itu. ”Mereka (pemilik saham) mengirim surat ke mana-mana supaya menunda izinnya dan kepada Bapedal untuk menunda Amdalnya,” ujar Yusfa.
***

BCC-3-01
Beberapa lembar map aneka warna tergeletak berantakan di atas meja kayu berwarna kuning muda di lantai dasar Citic Hotel, Pelita beberapa waktu lalu. Dua orang pria terlihat sibuk merapikan map-map berisi sejumlah dokumen penting tersebut. Keduanya adalah Conti Chandra dan asistennya, Wiliam.
Conti Chandra adalah pemegang saham mayoritas di PT Bangun Megah Semesta (BMS). Bersama empat pengusaha lain yakni Sutriswi, Wie Meng Andreas Sie dan Hasan, Conti Chandra mendirikan perseroan yang kemudian membangun gedung megah di Jalan Bunga Mawar Nomor 5, Baloi Kecamatan Lubukbaja yakni Batam City Condotel.

Sesekali keningnya dikernyitkan setelah satu per satu dokumen yang ternyata berisi seluruh akta pembelian, izin serta jual beli saham disertai kwitansi dan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Batam itu dibacanya.
Tapi tidak satu kata pun yang terlontar dari mulutnya kecuali menyarankan Batam Pos untuk berkomunikasi langsung dengan penasehat hukumnya, Mustari. ”Dengan Pak Mustari saja. Dia pengacara yang sudah saya tunjuk,” ujar Conti Chandra kala itu.
Ia tak mau bicara terkait sengketa antara dirinya dengan manajemen baru PT BMS yang dianggapnya telah ‘merampas’ hak-haknya dalam bisnis properti tersebut. ”Saya harus menempuh jalur hukum karena tiba-tiba usaha saya untuk membangun perusahaan itu disia-siakan. Padahal tenaga, pikiran dan modal yang besar sudah saya keluarkan,” katanya.
Lalu apa sebenarnya yang terjadi dengan BCC Hotel? Lagi-lagi Conti bungkam. Tapi penasehat Conti Chandra mau buka mulut.
Menurut Mustari, tanggal 27 Juni 2013 lalu kliennya Conti Chandra melayangkan gugatan perbuatan melawan hukum dan pembatalan rapat umum pemegang saham (RUPS) terhadap sejumlah pihak. Pihak-pihak itu antara lain Tjipta Fudjiarta selaku Komisaris PT BMS, Toh York Yee Winston selaku direktur, serta Bank Ekonomi Raharja Cabang Batam selaku turut tergugat dan notaris Syaifudin juga turut tergugat.
PT BMS ini berdasarkan akta notaris Anly Cenggana nomor 89 tanggal 27 Juli 2011, Conti Chandra telah membeli sebanyak 84 lembar saham milik Wie Mieng kemudian 14 lembarnya dari Sutriswi, 77 lembar dari Hasan, dan 28 lembar dari Andreas Sie. Conti kemudian mengambil alih perusahaan tersebut setelah saham-saham milik empat temannya yang turut andil membangun PT BMS berdasarkan akta notaris nomor 13 tertanggal 19 Oktober 2007 silam.
Sebanyak 203 saham ini setara Rp27,5 miliar dengan nilai selembar saham sebanyak Rp135,7 juta.

”Berdasarkan pengalihan saham ini maka klien kami diberi hak untuk mengambil keputusan dan mencari pendamping untuk meneruskan aktivitas perusahaan,” ujar Mustari.
Conti Chandra lalu mengajak tergugat Tjipta Fujiarta untuk bergabung karena terbentur aturan Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT). Conti dan Tjipta masih punya pertalian hubungan keluarga. ”Dibuatkanlah akta notaris nomor 10 tanggal 7 Juli 2011 oleh notaris Anly Cenggana,” beber Mustari.
Masuknya Tjipta Fujiarta dalam jajaran managemen PT BMS ini juga untuk mendapatkan persetujuan kredit dari bank sekaligus membatalkan keputusan RUPS PT BMS sesuai akta notaris nomor 89 tanggal 27 Juli 2011 dimana Tjipta diangkat sebagai komisaris perseroan dan Conti tetap pada posisi direktur.
Tapi berjalannya waktu, kata Mustari, Tjipta kemudian membeli sebagian saham milik kliennya Conti Chandra senilai Rp196 juta. ”Tapi wujud uangnya belum diterima oleh klien kami alias belum dibayar,” katanya.

Conti Chandra kemudian didepak dari perseroan setelah kliennya menjual sebagian sahamnya itu kepada Tjipta Fujiarta sementara kewajiban untuk membayar belum dilakukan. ”Yang jelas Conti masih punya hak di BCC, apalagi sahamnya belum dibayar, belum lagi aset BCC yang mencapai ratusan miliar rupiah,” ujar Mustari. Saat ini nilai seluruh aset BCC mencapai Rp400 miliar.
Waktu terus berjalan, Tjipta Fujiarta tiba-tiba melakukan RUPS setelah mendapat kopian akta jual beli saham Conti Chandra. ”Padahal akta aslinya masih dipegang klien kami. Kenapa dipegang? Karena uangnya belum diberikan,” katanya.
Namun demikian, Tjipta Fujiarta membantah tudingan Conti tersebut. Via telepon selulernya, Tjipta mengatakan bahwa dirinya tidak membeli saham milik Conti Chandra.  ”Awalnya saya tidak beli saham dari Conti jadi kenapa harus bayar ke dia. Bukan saham dia yang dijual ke saya tapi empat pemegang saham lain. Dia juga tidak bisa buktikan akta jual beli saham dari empat pemegang saham lain. Kalau tidak ada ke dia bagaimana dia punya,” ujar Tjipta Fujiarta, Kamis (30/1) lalu.
Terkait gugatan perdata di PN Batam, Tjipta juga mengklaim bahwa saat ini telah masuk tahap konklusi. ”Jadi mungkin dalam sepuluh hari lagi sudah ada putusan,” katanya.
Conti Candra tak berhenti sampai di Pengadilan Negeri. Ia juga melaporkan notaris Saifudin dan Anly Cenggana serta Bank Ekonomi Raharja kepada Ombudsman Kepri. Asisten Ombudsman Kepri Amir Mahmud mengatakan Conti melaporkan dua notaris itu karena menduga keduanya melakukan mal-administrasi. Sementara Bank Ekonomi Raharja dilaporkan karena mencabut akses keuangan Conti atas permintaan Tjipta yang keabsahan surat-suratnya dipertanyakan.
”Untuk kedua notaris kami serahkan ke Majelis Pengawas Daerah Notaris untuk disidang. Untuk Bank Ekonomi, kami akan melakukan klarifikasi pada 20 Februari nanti. Tapi kami juga akan mengawasi persidangan kedua notaris itu,” kata Amir saat dihubungi Jumat pekan lalu.
Dia menjelaskan, laporan Conti terhadap kedua notaris tersebut penting karena pekerjaan notaris berhubungan dengan publik dan dijaga oleh undang-undang. Sebagai lembaga pengawasan pelayanan publik, Ombudsman Kepri berwenang memeriksa pelayanan yang dilakukan Bank Ekonomi apakah benar seperti yang dilaporkan Conti.
Ketua Majelis Pengawas Daerah Notaris Kota Batam Sinwar Widjono membenarkan telah memeriksa notaris yang dilaporkan Conti.
”Masih dalam pemeriksaan. Masih ada tahap mendengarkan keterangan penggugat, keterangan tergugat, dan keduanya akan dikonfrontir,” kata Widjono, Kamis pekan lalu.

Di Pengadilan Negeri Batam, putusan pengadilan yang rencananya dibacakan pekan lalu diundur. ”Sekitar satu atau dua minggu ke depan,” kata Humas PN Kota Batam, Thomas Tarigan, Kamis pekan lalu di Kantor PN Batam, Batam Centre.
Penundaan ini disebabkan penyusunan konsep putusan yang masih harus dimusyawarahkan.  (Batampos/spt/eks/hgt)





@



0 komentar:

Posting Komentar - Kembali ke Konten

Mengupas Tuntas Sengketa Hotel BCC Batam