informasi berita layaknya sebuah koran yang ada di batam

Jangan Berharap Banyak dari Wakil Rakyat Hasil Pileg 2014

Oleh: IRWANTO, S,Pd,M,Si
Keragaman adalah sebuah keindahan yang tidak dipungkiri dan bagian dari sebuah takdir kehidupan. Keragaman sebagai sebuah dinamika sosial yang mewarnai kehidupan, memenuhi hampir disemua sisi pranata sosial. Tidak terkecuali pada sisi menyalurkan aspirasi yang merupakan hak politik yang diatur oleh negara. Keabsahan dari bentuk kemerdekaan menyalurkan aspirasi ditandai dengan diberikannya hak bagi warga Negara untuk menentukan pilihan pada 9 April 2014, melalui pemilihan umum wakil rakyat. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan presiden dan wakil presiden pada Juni nanti. Pemilihan yang dilakukan oleh bangsa ini adalah upaya untuk mencari  ”Pemimpin” bukan ”Manajer”. Karena perbedaan yang sangat mendasar dari ”Pemimpin” dan ”Manager” adalah Pemimpin dipilih sementara manajer diangkat.

Memilih merupakan kata yang selalu kita dengar dalam keseharian. Memilih memiliki makna menentukan keputusan dari beberapa objek yang ada. Objek kadang kala bersifat abstrak dan kongkrit namun semua keputusan memiliki filosofis baik atau buruk. Menurut kerangka pemikiran individu itu sendiri dan norma-norma yang diyakini. Proses memilih telah kita lalui, untuk menentukan orang-orang yang akan menempati posisi pada struktur organisasi yang diciptakan dalam sistem demokrasi dengan didasari pada konsep trias politika, dalam era demokrasi. Proses pemilihan yang dilakukan pada momen pemilihan umum yang berlangsung di negara sangat dipengaruhi predikat negara itu sendiri.

Ada perbedaan yang mendasari pemilihan pada negara maju dan negara berkembang. Negara maju biasanya lebih cenderung melalukan proses pemilihan dengan paradigma ”Rasional Choice” menentukan orang yang akan dipilih didasari oleh sesuatu yang rasional bagi kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Rasional choise ini merujuk kepada program-program yang ditawarkan untuk dijalankan oleh calon wakil rakyat itu sendiri. Hal ini tidak berlaku untuk negara-negara yang sedang berkembang.

Seperti Indonesia pilihan lebih kepada paradigma Irasional Choise, walaupun kita telah melalui tiga rezim pemerintahan Orla, Orba, dan Orde Reformasi. Orla dan Orba yang mengedepankan kekuasaan dengan alasan menjaga stabilitas telah memasung hak-hak politik warga, persentase besarnya pemilih bukan dikarenakan kesadaran, tapi hanya takut diidentikkan dengan melakukan perlawanan dan kemungkinan diberikan sanksi oleh tangan penguasa. Hal itu sudah lama kita lalui dan kita berharap orde reformasi ini menunjukan perubahan yang berarti, namun secara kasat mata, memang telah terjadi berbagai keterbukaan dan kebebasaan bersuara dan berpolitik namun format yang konsisten dan baku untuk sebuah bentuk reformasi belum terlihat.

Politik patron–klien  pada zaman orla dan orba masih berlangsung pada orde reformasi ini. Diperkuat dengan kekebasan dan persaingan yang sangat kental dalam tubuh partai untuk mendapatkan suara yang terbanyak. Dukungan massa dan relasinya dengan media massa, popularitas, keberuntungan (nasib) dan besarnya modal finansial menjadi powerfull yang mendukung eksistensi seorang politikus menjadi daya tarik yang diperebutkan oleh partai.

Melalui penguasaan empat hal di atas, bisa mendongkrak rapor keterpilihan seorang politikus menjadi sang pemenang dalam pesta demokrasi. Ada teori menarik bahwa dunia politik adalah panggung transaksional antara kepentingan ekonomi (bisnis) dan politik (kekuasaan). Bahwa puncak kesuksesan politik adalah mampu meraih kekuasaan dan mampu meraup pundi-pundi ekonomi yang dapat mensejahterakan para politikus dan kelompoknya. Sedangkan teori ekonomi politik kekuasaan berparadigma kritis, menyatakan bahwa puncak kekuasaan bukan untuk meraih kekuasaan dan mengakses sumber-sumber kemakmuran, melainkan untuk memperjuangkan kepentingan bersama (publik). Teori terakhir ini kebanyakan hanya dijadikan bahan retorika, sedangkan praktiknya masih jauh dari harapan.

Politik adalah kemenangan, kemenangan harus diraih dengan strategi dan retorika politik yang dianggap tidak salah. Kecurangan oleh aktor politik dalam tataran tidak dipermasalahkan dan tidak diketahui sah-sah saja untuk sebuah kemenangan. Hal inilah yang terlihat politik transaksional menguasai dan memberi warna pemilihan umum 2014, banyak berita yang kita dengar di lingkungan terdekat maupun maupun dari media dengan modus, pemberian uang pada pemilih, dan pada penyelenggara pemilu untuk dapat mendulang suara agar dapat duduk sebagai wakil rakyat.

Haruskah seperti ini? Benarkah pilihan kita adalah orang-orang yang melakukan politik seperti ini? Apakah benar mereka berkorban mengeluarkan materi secara percuma?  Apakah mereka akan mengikhlaskan materi dan jasa lainnya kepada pemilih yang mereka harapkan memilih mereka? Rasanya tidak salah jika kita berpedoman, ”Hidup hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Baik materi maupun status sosial. Tentunya prinsip ekonomi berlaku pada proses ini. Semua yang diberikan harus kembali dalam rentang lima tahun masa jabatan. Lebih syukur lagi berlebih untuk pemilihan berikutnya.

Ini adalah logika berpikir yang sangat sederhana. Logika berpikir yang mengeneralisasikan secara empirik dengan apa yang dilihat dengan kenyataan yang terjadi. Namun tidak semua calon wakil rakyat seperti itu, mungkin masih ada wakil rakyat yang mengedepankan ketokohan, kejujuran dan tidak menggunakan politik uang. Namun segelintir wakil rakyat yang benar-benar jujur seperti ini diyakini akan tergerus dengan sistem demokrasi yg sedang kita jalani saat ini.

Selain itu sistem demokrasi melalui suara terbanyak ini, membuka peluang pemilih untuk membuat bargaining position mereka menjadi kuat, pemilih mengambil kesempatan juga dari pesta demokrasi yang dijalankan untuk meminta balas jasa dari calon wakil mereka. Sehingga apapun bentuk keterwakilan pemimpin yang mereka pilih, harus mereka terima dalam rentang lima tahun ke depan ini.

Jangan nantinya complain jika ada wakil mereka yang susah untuk di jumpai. Sudah tidak mau lagi turun ke masyarakat. Tidak lagi seperti dulu yang selalu memberi dan menawarkan jasa. Hal ini juga harus di pahami pemilih, bahwa tidak ada manusia yang mau rugi, pengorbanan bersumber dari keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalam diri pengorbanan belum tentu sebagai sebuah keikhlasan pengorbanan dan bantuan bisa saja untuk suatu tujuan tertentu.

Nikmatilah hasil pilihan kita dalam orde reformasi belum mengarah ke kondisi ideal yang impersonal, rasional, efisen, dan berkeadilan. Berjalannya proses reformasi yang kita lihat selama ini hanya pada batas kemampuan elit mengakomodir seluruh kepentingan kelompok yang memiliki kekuatan melalui sistem demokrasi yang sedang mencari bentuknya yang ia masih dipengaruhi oleh paradigma ”Neo Patromonialisme”. Jangan berharap banyak dengan hasil pilihan transaksional yang telah dipilih saat ini, namun jangan kita lemah untuk senantiasa melakukan pengawasan kepada wakil rakyat, karena kedaulatan terletak di tangan rakyat. Harus diciptakan mekanisme yang beretika bagi memantau keterwakilan suara rakyat yang belum diatur mekanismenya oleh negara. Ini demi peningkatan kesejahteraan bersama, wakil dan rakyatnya sama-sama sejahtera. Semoga…***



@



0 komentar:

Posting Komentar - Kembali ke Konten

Jangan Berharap Banyak dari Wakil Rakyat Hasil Pileg 2014