informasi berita layaknya sebuah koran yang ada di batam

Menyongsong Era Pemerintahan Baru

Oleh: ISWAL SYAHRI
(Alumnus Program Magister Ilmu Pemerintahan
Universitas Islam Riau)
OPINI ANDA -- Pemilu 2014 telah selesai dan meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, Indonesia patut bersyukur, sebab bangsa yang sangat majemuk ini mampu mengelola demokrasi dengan baik. Secara umum, Pemilu 2014 berjalan tertib, aman dan lancar. Padahal di beberapa negara berkembang lain misalnya, pelaksanaan Pemilu kerap kali melahirkan teror dan ancaman. Hal ini tidak terlepas dari peran serta seluruh elemen bangsa, mulai dari unsur penyelenggara Pemilu, masyarakat, sampai insan pers yang ikut terjun langsung mengawal proses demokrasi ini.

Kedua, hasil Pemilu 2014 pasti akan mengantarkan kita menuju era pemerintahan baru, menggantikan era pemerintahan SBY yang telah memerintah selama hampir sepuluh tahun.

Berbagai harapan pun kemudian dikumandangkan demi menyongsong era baru ini. Seperti harapan agar lahirnya pemerintahan yang kuat, bersih, dan selalu berpihak kepada rakyat. Sebab pemerintahan yang berkuasa selama ini dianggap cenderung korup dan tidak pro rakyat.

Tapi sejarah selalu mengajarkan, bahwa lebih mudah menumbangkan banyak kekuasaan yang korup ketimbang menegakkan satu saja pemerintahan yang bersih dan pro rakyat. Tahun 1998, segenap kita mungkin telah berhasil menjatuhkan rezim otoritarian Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun. Dan sejak saat itu, kita pun mulai menata kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah era baru (reformasi) yang lebih baik dan demokratis. Tapi dalam perjalanannya, era baru yang kita idam-idamkan tersebut nyatanya juga tidak lebih baik dari era rezim otoritarian yang kita tumbangkan itu. Orang-orang pun mulai bereaksi dan mengeluh lagi. Lalu jangan heran, kalau sebagian dari kita malah menganggap kehidupan berbangsa dan bernegara di zaman Soeharto lebih baik dari kehidupan hari ini.

Munculnya reaksi semacam ini mungkin saja tidak terlepas dari faktor semakin kompleks dan akutnya masalah yang menimpa Indonesia. Masalah korupsi justru semakin mewabah sejak pemerintahan berada dalam era demokratisasi-reformasi. Keadaan ini kemudian diperparah dengan hal-hal empirik di lapangan, seperti masalah buruknya pelayanan pemerintahan, minimnya infrastruktur, mahalnya harga-harga kebutuhan pokok, dan sebagainya. Di sisi lain, musibah bencana alam kemudian seolah datang secara bersamaan, silih berganti, menerpa bangsa ini. Tsunami, gempa, banjir, letusan gunung, sampai asap Riau.

Akumulasi dari beragam persoalan tersebut kemudian melahirkan kekecewaan mendalam di tengah masyarakat selama bertahun-tahun. Ia seperti duri dalam daging, api dalam sekam, yang pada sekali waktu bisa saja meledak melahirkan amuk. Tapi sekali lagi, masyarakat kita tidak pernah menaruh dendam kesumat atas kekecewaan demi kekecewaan yang terus mereka terima. Buktinya, mereka masih tetap datang ke bilik-bilik TPS, demi menjemput sedikit harapan lewat jalan demokrasi. Mereka masih percaya, bahwa era pemerintahan baru nanti adalah momentum untuk berubah dan berbenah.

Karenanya, dalam pandangan saya, masyarakat tidak menuntut banyak hal kepada pemimpin era pemerintahan baru yang nanti akan terbentuk. Cukup beberapa hal yang memang harus betul-betul diubah dan dibenah.

Pertama, jangan korupsi. Sebab tak ada hal yang paling memuakkan di mata masyarakat kita hari ini selain korupsi. Mengapa? Karena suara yang mereka berikan saat Pemilu memiliki harga yang sangat tinggi. Bahkan dianggap setara dengan suara Tuhan (Vox Populi Vox Dei). Tapi kenyataannya, berkaca pada pengalaman yang sudah-sudah, kekuasaan terpilih (baik eksekutif, legislatif dan yudikatif) cenderung menyalahgunakan kekuasaannya lewat budaya KKN, pembohongan publik, cuci tangan, kepongahan, pemborosan, pembiaran, dan sebagainya. Oleh karena itu, harapan terbesar masyarakat kepada kekuasaan pemerintahan baru yang akan terbentuk adalah komitmen bersama yang kuat untuk berani tidak korupsi.

Kedua, jaga harga kebutuhan pokok. Ciptakan keadaan di mana harga setiap kebutuhan pokok itu murah dan terjangkau. Atau paling tidak, harga-harga tersebut harus selalu stabil dan terkendali. Karena itu ke depannya, sejumlah pekerjaan rumah telah menanti pemerintahan baru dalam rangka mewujudkan apa yang menjadi harapan dan keinginganan masyarakat tersebut, yaitu terciptanya keadaan dimana harga-harga kebutuhan pokok murah, terjangkau dan terkendali.

Ketiga, penegakkan hukum yang adil. Keadilan hukum akan lahir bila segenap aparat penegak hukum mampu menegakkan hukum dengan arif, jernih dan tanpa pandang bulu. Setiap orang punya kedudukan yang sama di depan hukum. Hukumlah seberat-beratnya mereka yang memang melakukan kesalahan-kesalahan besar (seperti pada kasus korupsi, narkoba, pembunuhan, dan sebagainya). Dan hukumlah seringan-ringannya atas mereka yang cuma melakukan kesalahan-kesalahan kecil.

Keempat, lakukan pelayanan pemerintahan dengan baik. Dalam paradigma baru teori pemerintahan (meminjam teori Kybernologi Ndraha), pelayanan pemerintahan pada hakikatnya adalah penepatan janji, penjagaan harapan, pemenuhan harapan, antara kandidat pemangku kekuasaan dengan masyarakat sebagai konstituen, pihak terjanji dan pelanggan. Masyarakat disebut pelanggan karena mereka telah membayar janji-janji yang ditawarkan saat Pemilu dengan harga yang sangat tinggi, yaitu pemberian suara (Voc Populy, Vote), dan suara itu dianggap setara dengan suara Tuhan (Vox Dei). Kemudian sesuai hukum perjanjian, janji harus ditepati. Pihak yang berjanji (calon pemimpin) wajib melayani pihak terjanji (masayarakat). Pihak yang melayani disini bukan hanya lembaga yang terbentuk melalui proses pemilihan saja, tetapi juga semua lembaga negara, termasuk lembaga-lembaga yang terbentuk  melalui pengangkatan. Sebab semuanya terikat pada sumpah jabatan masing-masing. Sumpah adalah bukti di masa lalu dan janji di masa depan. Namun dalam praktiknya, begitu pesta Pemilu selesai, perjanjian cepat terlupakan, dan pelayanan dilakukan sekenanya saja.

Kelima, benahi infrastruktur, khususnya bagi daerah-daerah pinggiran dan tertinggal. Selama ini, keberadaan infrastruktur yang memadai lebih banyak terlihat di Pulau Jawa. Adapun di luar itu, masih kita temui daerah-daerah minim dan buruk infrastrukturnya. Memang, di era otonomi daerah sekarang kita dituntut untuk mampu mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Tetapi bukan berarti pemerintahan di pusat bisa seenaknya saja lepas tangan, sebab bentuk negara kita adalah kesatuan. Oleh karena itu, pemerintahan baru harus mengalokasikan anggaran yang memadai kepada daerah-daerah tertinggal untuk dibenahi infrastrukturnya. Kalau perlu, segenap unsur pemerintahan baru harus berani melakukan tinjauan langsung ke daerah-daerah tersebut untuk melihat keadaan yang sebenarnya.

Terakhir, pemerintahan baru harus mampu merangkul semua pihak, khususnya terhadap pemerintahan yang ada di daerah-daerah. Selama ini, kita menganggap bahwa pemerintahan yang ada di pusat sebagai ujung tombak pemerintahan, dengan Kantor Kepresidenan yang terletak di Merdeka Utara sebagai garis depannya. Padahal, garis depan pemerintahan itu terletak di desa-desa, kelurahan, dan dalam kondisi tertentu di kecamatan dan dinas-dinas pemerintahan daerah. Di sinilah tempat berlangsungnya interaksi yang nyata antara warga masayarakat yang dilayani dengan negara atau pemerintah yang melayani. Tempat berlangsungnya interaksi nyata ini kemudian dapat disebut sebagai pasar atau warungnya pemerintahan. Oleh karena itu, kesuksesan pemerintahan baru nanti juga akan sangat ditentukan oleh kinerja pemerintahan yang ada di daerah-daerah. ***



@


Recommended posts

0 komentar:

Posting Komentar - Kembali ke Konten

Menyongsong Era Pemerintahan Baru